Holy - Nathan Soderblom


Istilah ‘holy’ dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘suci’ dalam bahasa Indonesia. Istilah holy atau suci merupakan istilah dalam dunia religi yang memiliki makna yang sangat luas. Nathan Soderblom (1866 – 1931) seorang ahli teologi telah mendeskripsikan srtuktur dari konsep suci mulai dari zaman primitif hingga zaman sekarang dalam tulisannya yang berjudul “Holiness”. Soderblom adalah seorang keturunan pendeta Kristen Swedia yang kemudian menjadi Uskup Agung di salah satu Gereja Kristen Swedia yaitu Gereja Uppsala. Dia juga meraih nobel perdamaian karena usahanya mengkampanyekan perdamaian dunia pada masa Perang Dunia I. Dalam tulisannya yang berjudul “Holiness,” Soderblom memulai argumennya dari konsep tentang holy. Makna yang terdapat dari istilah holy atau suci bahkan lebih dalam daripada gagasan atau konsep tentang ketuhanan (Soderblom, 1981).
Holiness is the great word in religion; it is even more essential then the notion of God. Real religion may exist without a definite conception of divinity, but there is no real religion without a distinction between holy and profane.”(Soderblom, 1981: 731)
Soderblom mengemukakan  bahwa di dunia ini ada religi yang bisa bertahan tanpa adanya konsep ketuhanan, tetapi tidak ada religi di dunia ini yang bisa lepas dari konsep kesucian. Misalnya sebagai contoh adalah Buddhisme yang mengutamakan konsep keselamatan dan ketakwaan dalam religinya, religi Buddhisme ini merupakan contoh religi yang tidak memiliki konsep tentang ketuhanan (Soderblom, 1981). Ujian-ujian yang dihadapi oleh para pengikut Buddhisme adalah kesucian. Mereka, para penganut Buddisme diajarkan untuk menjadi orang suci seperti yang dilakukan oleh Sidharta Gautama sebagai tokoh panutan dalam religi Buddha. Soderblom menyebutkan bahwa sudah dari dulu suci memang mengangkat nilai yang penting dalam dunia religi. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada konsep ketuhanan dalam religi yang tidak disertai dengan konsep kesucian (Schleiermacher dalam Soderblom, 1799). Schleiermacher menjelaskan bahwa religi yang tidak memiliki konsep tentang kesucian maka religi tersebut tidak disebut sebagai religi, atau dengan kata lain bukan religi. Hal ini karena Schleiermancer mendefinisikan bahwa bereligi adalah jalan manusia untuk mencapai sesuatu yang suci. Religi adalah proses yang harus dihadapi dan ditempuh manusia. Setiap manusia pasti menempuh religinya masing-masing untuk mencapai atau mendekatkan diri terhadap kesucian tersebut.
Suci dapat dilihat sebagai sebuah kekuatan misterius yang mempunyai wujud dan berhubungan dengan segala hal seperti benda, upacara, dan tindakan (Soderblom, 1980).
Holiness is viewed as a mysterious power or entity connected with certain beings, things, events, or action” (Soderblom, 1981: 731)
Segala hal seperti benda, upacara, tindakan dalam religi pasti memiliki kekuatan misterius. Akan tetapi, Soderblom mendefinisikannya lebih luas karena kekuatan misterius yang dimaksud oleh Soderblom adalah kekuatan misterius baik yang berada di dalam lingkup religi maupun berada di luar lingkup religi. Kekuatan misterius ini dikenal dengan istilah misterium tremendum et fascinans. Kekuatan misterius ini adalah sebuah kekuatan yang tidak bisa dipahami oleh manusia secara rasional. Kekuatan ini yang menjadi misteri karena tidak bisa dipecahkan oleh akal pikiran manusia. Kekuatan yang misterius tersebut menurut Soderblom, sekarang dewasa ini disebut dengan istilah lain seperti istilah mana dan tabu. Meskipun banyak istilah lain yang merujuk kepada kekuatan misterius ini, tetapi Soderblom mengkategorikannya secara umum bahwa semua kekuatan misterius itu masuk ke dalam ruang lingkup kekuatan suci atau  kesucian.
Spencer dan Gillen menjelaskan bahwa konsep suci sebagai sebuah misteri pertama kali muncul ketika ada medicine-man atau priest (dalam Soderblom, 1899). Medicine-man atau priest adalah orang yang mampu menyembuhkan orang sakit. Mereka menggunakan doa atau magis sebagai kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit. Kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit pada zaman primitif masih dianggap sebagai kekuatan yang misterius. Kekuatan yang dimiliki oleh medicine-man atau priest kemudian dianggap sebagai kekuatan suci oleh masyarakat. Lalu sejak saat itu, kepercayaan akan kekuatan suci yang dimiliki oleh medicine-man atau priest tersebut menjadi latar belakang dari adanya tindakan purifikasi religius yang menggunakan religi atau magis untuk menyelamatkan hidup manusia.
Durkheim menjelaskan bahwa kesucian sebagai kekuatan misterius diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari segala macam hal yang berada di luar kejadian yang normal atau biasa yang tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia (dalam Soderblom, 1912). Dengan begini, segala macam hal atau kejadian dan tidak biasa atau tidak normal, dan juga tidak bisa dijelaskan manusia masuk ke dalam ruang lingkup kesucian. Segala macam hal atau kejadian yang tidak biasa atau di luar normal tersebut disebut oleh Durkheim sebagai kesucian. Durkhem juga menjelaskan bahwa kekuatan suci tidak digunakan secara individu, tetapi digunakan secaras kolektif dalam masyarakat (dalam Soderblom, 1912). Kekuatan suci hidup dalam masyarakat dan menjadi harta tersendiri bagi masyarakat. Hal ini karena kekuatan suci tersebut didirikan, dijaga, dan dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri. Kekuatan suci ini membangun kehidupan dan kebahagiaan bagi masyarakat supaya masyarakat tersebut tetap berada dalam ruang lingkup kesucian. Masyarakat kemudian mempertinggi nilai yang terdapat pada kekuatan misterius atau kesucian, sehingga mempengaruhi tindakan religius mereka yang membentuk adat istiadat pada masyarakat tersebut. Meski begitu ada pula pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuatan suci ini. Penyalahgunaan kekuatan misterius tersebut disebut oleh Durkheim dengan istilah ‘sorcery’ (sihir) atau ‘black art’ (ilmu hitam).
Soderblom menjelaskan ada dua bentuk tindakan religius yang merujuk kepada kekuatan suci, yakni tindakan religius dalam bentuk positif dan tindakan religius dalam bentuk negatif (1980). Kekuatan suci di satu sisi sangat erat nilainya sebagai sumber kesehatan, keselamatan, makanan, dan kesuksesan. Tetapi di sisi lain kekuatan suci juga mempunyai hubungan sebagai sumber bahaya. Konsep kekuatan suci yang memberikan kesehatan, keselamatan, kesuksesan, makanan, dan sebagainya, menghasilkan tindakan religius bentuk positif. Sekarang contohnya adalah ritual untuk memperbanyak hasil panen atau diadakannya ritual untuk keselamatan manusianya. Sedangkan sebaliknya konsep kekuatan suci yang mendatangkan marabahaya disebut sebagai tindakan religius negatif atau disebut juga dengan larangan. Tindakan religius dalam bentuk negatif berhubungan dengan kekuatan suci yang menyebabkan bahaya. Misalnya, larangan untuk tidak bermain di pantai karena pantai itu adalah pantai suci. Bila dipikir secara rasional maka kenapa harus takut bermain di pantai, padahal bila ditinjau dari dengan mata fisik, pantai yang dilarang tersebut juga merupakan pantai yang normal seperti pantai-pantai pada umumnya. Tetapi, larangan untuk tidak bermain di pantai tersebut tetap harus dipatuhi oleh manusia. Bila ada manusia melanggar larangan itu, maka jiwa manusia yang melanggar tersebut akan berada dalam bahaya. Berada dalam bahaya ini tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia. Oleh karena itu kejadian berada dalam bahaya ini menjadi misteri. Artinya ada kekuatan misterius atau kekuatan suci yang mendorong manusia untuk menjauhkan diri dari bahaya tersebut. Dari kejadian ini maka muncul rasa ketakuan manusia untuk tidak mendekatkan diri pada kekuatan suci. Larangan yang memunculkan ketakutan akan kekuatan misterius yang mengancam jiwa atau ruh manusia tersebut disebut Frazer dengan istilah ‘tabu’ (dalam Soderblom, 1911). Frazer menjelaskan tabu berhubungan dengan ruh atau jiwa, sehingga untuk menyelamatkan ruh atau jiwa tersebut dari bahaya muncul larangan seperti “jangan begini” atau “tidak boleh begitu” agar ruh atau jiwa manusia tetap aman dan terhindar dari bahaya. Istilah tabu yang dimaksud oleh Frazer, disebut Soderblom dengan istilah kesucian primitif (1980). Soderblom menjelaskan bahwa manusia primitif belum mampu membedakan sesuatu yang suci dan sesuatu yang kotor karena keterbatasan ilmu pengetahuan mereka, sehingga pada tabu masih terdapat ketidakjelasan antara yang suci dan kotor.
Soderblom menyebutkan ada tiga model bentuk hubungan antara suci, profan, bersih, dan kotor (1980). Ketiga model tersebut dijelaskan sebagai sebuah tahap evolusi. Artinya, model pertama adalah model awal konsep antara suci, profan, bersih, dan kotor pada masyarakat primitif. Model pertama ini kemudian berubah menjadi model kedua. Lalu model kedua berevolusi lagi menjadi model ketiga sebagai tahap terakhir. Model pertama dijelaskan Soderblom bahwa yang suci adalah yang kotor, dan yang profan adalah yang bersih (1980). Sebagai contoh religi Yahudi kuno menyebutkan bahwa babi adalah binatang yang kotor. Karena babi adalah binatang yang kotor atau terkutuk, maka babi tidak boleh dimakan oleh manusia. Kemudian gagasan kolektif masyarakat yang menganggap bahwa babi itu tidak boleh dimakan memunculkan pengertian bahwa babi memiliki kekuatan misterius atau suci, sehingga babi dianggap sebagai binatang suci. Jadi memakan babi adalah sesuatu yang dilarang atau tabu. Memakan babi tidak boleh dilakukan manusia karena bisa mendatangkan ancaman atau bahaya bagi manusia. Bukan hanya dalam religi Yahudi saja, banyak religi lain juga yang menggunakan konsep suci seperti model pertama ini, sehingga dalam pengertiannya suci berarti kotor. Misalnya seperti contoh yang terdapat pada istilah ‘suci’ dalam bahasa latin kuno yang memiliki arti ‘terkutuk’. Dalam model pertama ini, segala hal yang kotor, tercemar, terkutuk, tidak bersih disebut sebagai sesuatu yang suci. Sedangkan lawannya, segala hal yang bersih disebut sebagai yang profan. Menurut Soderblom ini adalah model yang merujuk pada kesucian primitif. Susunan pemetaan antara suci, profan, bersih, dan kotor tergambar seperti tabel di bawah ini.
Tabel 1: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Pertama
Suci
Kotor
Profan
Bersih
Sumber: Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume VI
Model kedua yang dinyatakan Soderblom bahwa segala hal yang suci adalah sesuatu yang bersih, dan lawannya segala hal yang profan adalah sesuatu yang kotor (1980). Dalam model kedua, yang bersih berada di dalam ruang lingkup kesucian. Pada tahap model kedua ini manusia mulai berfikir bahwa kesucian tidak boleh dianggap sebagai larangan seperti yang ada pada model pertama. Profan pada model kedua ini dipandang lebih rendah karena meliputi segala sesuatu yang kotor. Sementara suci dianggap sebagai istilah yang derajatnya lebih tinggi karena meliputi segala sesuatu yang bersih. Konsep kesucian disini mengacu kepada yang bersih karena konsep bersih pada model kedua ini merujuk pada segala sesuatu yang tidak biasa digunakan oleh manusia. Sebaliknya, segala sesuatu yang biasa digunakan oleh manusia atau disebut dengan profan mengarah kepada yang kotor atau tercemar karena biasa digunakan oleh manusia. Pemikiran ini menyebabkan bahwa segala sesuatu yang kotor masuk ke dalam ruang lingkup profan. Susunan pemetaan antara suci, profan, bersih, dan kotor pada model kedua tergambar seperti bagan di bawah ini.
Tabel 2: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Kedua
Suci
Bersih
Profan
Kotor
Sumber: Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume VI
Pada tahap evolusi ketiga, Soderblom menjelaskan bahwa dalam model ini terdapat tiga struktur (1980). Pada struktur pertama sebagai struktur tertinggi adalah kesucian. Kedua adalah bersih dan biasa. Ketiga sebagai stuktur terendah adalah tidak bersih atau kotor. Pada struktur pertama, kesucian dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang terlalu misterius, terlalu kuat, dan bersifat ketuhanan. Istilah ‘suci’ ini berada paling tinggi derajatnya daripada tiga istilah lainnya. Kosep suci pada model ketiga ini mengacu kepada segala macam kekuatan misterius yang menakjubkan. Sodeblom sengaja memisahkan antara suci dengan tabu. Tabu yang mendatangkan bahaya tersebut kemudian digolongkan ke dalam segala hal yang kotor. Artinya, segala hal yang kotor akan mendatangkan ancaman atau bahaya. Tabu merupakan wujud kekuatan suci berupa larangan untuk menjauhkan diri dari ruang lingkup kotor. Bertolak belakang dengan suci, kotor diletakan dalam struktur yang paling bawah, sehingga kotor dianggap sebagai yang paling buruk. Derajat kotor adalah yang paling rendah dari pada tiga konsep lainnya yakni suci, profan, dan bersih. Kemudian istilah-istilah yang berada di tengah-tengah antara suci dan kotor adalah bersih dan profan atau biasa. Segala macam hal yang bersih masuk ke dalam wilayah profan. Pada model ini dijelaskan bahwa profane adalah atau segala hal yang bersih. Profan adalah segala hal yang biasa digunakan oleh manusia sehari-hari. Segala hal tersebut bersifat bebas untuk digunakan sehari-hari. Karena profan adalah bersih maka yang digunakan sehari-hari secara bebas ini adalah segala macam hal yang bersih, dan tidak tergolong ke dalam wilayah yang kotor. Dengan demikian, yang bersih menjadi yang biasa digunakan sehari-hari, dan yang biasa digunakan sehari-hari disebut sebagai profan, sehingga yang bersih menjadi yang profan. Susunan pemetaan antara suci, biasa, bersih, dan kotor tergambar seperti bagan di bawah ini.
Tabel 3: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Ketiga
Suci
Bersih
Biasa
Kotor
Sumber: Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume VI
            Soderblom menyebutkan bahwa segala hal dan benda di dunia ini harus disucikan agar berada dalam ruang lingkup bersih (1980). Yang dimaksud dengan disucikan oleh Soderblom adalah mengangkat status sesuatu yang profan dan berada dalam ruang lingkup kotor menjadi ada dalam ruang lingkup bersih dengan bantuan kekuatan suci. Segala hal dan benda tersebut harus dipertahankan atau dilindungi agar tidak masuk ke dalam wilayah yang kotor agar bisa digunakan oleh manusia sehari-hari secara bebas. Soderblom juga menyatakan bahwa ada berbagai macam objek yang mempunyai kekuatan kesucian sebagai wujud dari kesucian. Objek-objek tersebut dapat ‘men-suci­­-kan’ segala macam hal dan benda agar berada di ruang lingkup bersih (1980). Objek-obek itu bisa bermacam-macam seperti binatang, elemen, tumbuhan, dan sebagainya. Contoh objek binatang yang memiliki kekuatan suci adalah sapi dalam masyarakat India. Sedangkan contoh elemen yang memiliki kekuatan suci dapat berupa air, api, tanah, dan sebagainya. Adanya upaya manusia untuk mempertahankan atau melindungi segala macam hal dan benda agar berada dalam ruang lingkup yang bersih menggunakan objek-objek yang memiliki kekuatan suci ini disebut Soderblom dengan istilah ‘purifikasi’ (1980). Maka purifikasi menjadi proses yang harus dilalui untuk mengubah sesuatu yang kotor menjadi yang bersih.

Koentjaraningrat - 3 Wujud dalam 7 Unsur Kebudayaan

     Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979: 187). Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.

     Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil.

     Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual baik yang diadakan musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.



Bibliografi:
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
_____________. 2005. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta

5 Klasifikasi Agama Jepang (Meiji - Showa I) oleh William K. Bunce

     Ada banyak agama di Jepang. Agama Jepang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 5 jenis (Bunce, 1955). Budha, Kristen, Kyoha Shinto, Jinja Shinto, dan yang tidak terklasifikasi. Budha merupakan agama yang dibentuk oleh Shidarta Gautama. Agama Budha masuk ke Jepang pada tahun 552 ketika kekaisaran Yamato mendapatkan hadiah berupa sutra Budha. Kedatangan agama Budha di Jepang mendapatkan pro dan kontra antara klan Mononobe yang menolak agama Budha dengan klan Soga yang menerima agama Budha. Pertikaian ini berakhir hingga Sotoku Taishi atau Pangeran Sotoku (574-622) menerima agama Budha (Surajaya, 1996: 8). Agama Budha kemudian mengalami perkembangan pada zaman Heian menjadi Budha Saicho dan Budha Shingon. Lalu pada zaman Kamakura (1185-1333), Agama Budha terus berkembang dan melahirkan enam sekte baru. Sekte-sekte baru tersebut adalah Jodoshu didirikan Honen (1133-1212), Jodoshinshu didirikan Shinran (1173-1262), Nichirenshu didirikan Nichiren (1222-1215), Soto Zenshu didirikan Dogen (1200-1253), dan Renzai Zenshu didirikan Eisai (1141-1215) (Anwar, 2009: 31).
     Agama Kristen pertama kali diperkenalkan oleh Francis Xavier (1506-1552) ketika ia pertama kali tiba di Satsuma pada tahun 1549. Xavier membawa misi gospel dari ajaran Kristen. Gospel adalah perintah untuk menyebarkan agama Kristen. Pada saat itu Jepang sudah terbagi-bagi menjadi beberapa wilayah. Setiap wilayah dipimpin oleh seorang daimyo. Agama Kristen pertama kali diterima baik oleh tiga daimyo di wilayah barat daya Jepang yakni Otomo dari Kyushu, Takayama Ukon dari Keiki, dan Omura dari Nagasaki (Surajaya, 1996: 56). Agama ini terus berkembang dan mendapat dukungan dari Nobunaga Oda pada saat ia memerintah. Agama Kristen kemudian mulai mendapat tekanan pada saat Toyotomi Hideyoshi memerintah. Tekanan terhadap agama Kristen terus berlanjut hingga zaman Edo. Tidak diterimanya agama Kristen tersebut kemudian menjadi penyebab munculnya kebijakan sakoku. Agama Kristen mulai diterima lagi di Jepang setelah adanya Restorasi Meiji (1868) (Surajaya, 1997, 20).
     Kyoha Shinto merupakan agama-agama Shinto yang tergabung dalam tiga belas sekte Shinto. Agama Shinto setelah terjadinya Restorasi Meiji (1868) dijadikan Kokka Shinto atau agama negara. Untuk memperkuat Kokka Shinto tersebut, maka dibentuklah Kyoha Shinto. Ketigabelas sekte dari Kyoha Shinto adalah Fusukyo diresmikan tahun 1882, Izumo Orashirokyo diresmikan tahun 1882, Jikkokyo diresmikan tahun 1882, Konkokyo diresmukan tahun 1900, Kurozumikyo diresmikan tahun 1876, Misogikyo diresmikan tahun 1894, Mitakekyo diresmikan tahun 1882, Shinrikyo diresmikan tahun 1894, Shinshukyo diresmikan tahun 1882, Shuseikyo diresmikan tahun 1876, Taikyo diresmikan tahun 1886, Taiseikyo diresmikan tahun 1882, dan Tenrikyo diresmikan tahun 1908.
     Sementara itu, Jinja Shinto merupakan agama Shinto yang menrujuk kepada kepercayaan Shinto tradisional. Tindakan religius pada Jinja shinto sangat erat dengan jinja atau kuil shinto dan tempat-tempat suci yang memberi mereka dukungan spiritual. Yang termasuk dalam Jinja Shinto adalah Hakuzan, Hokkaido Munami Jinja, Inari, Jinja Honco, Jinja Honkyo, Jinja Ubusuna, Kiso Mitake Honkyo, Shimmei Kyodan, Shoshin no Miyashiro Honkyo, dan Tenshokyo Hombu.
     Terakhir adalah agama-agama lain yang tidak termasuk kedalam empat klasifikasi diatas. Agama-agama tersebut adalah Ainu, Aizen-en, Dai Nippon Daidokyo, Seicho no Ie, Shimboku Kyodan, Sumera kyo, Tenrei kyo, Tensho Kotai, Jingukyo, dan masih banyak lagi.

Bibliografi:
Anesaki, Masaharu. 1975. History of Japanese Religion. Japan: Suido I-chome
Anwar, Etty N. 2009. Akuninshouki Zettai Tariki dalam Agama Buddha Jepang. Jakarta: Penaku
Beasley, W.G. 2003. Pengalaman Jepang, Sejarah Singkat Jepang terj. The Japanese Experience, A Short History of Japan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Brunce, William K. 1955. Religions in Japan, Buddism, Shinto, Christiany. Tokyo: Charles
Surajaya, I Ketut. 1996. Pengantar Sejarah Jepang I. Depok: UI Press
_____________.1997. Pengantar Sejarah Jepang II. Depok: UI Press

Mujaki na Kimi he no Uta



Lyric

onaji kono tsuchi ni ikiru
kono wareta hibi koso
mayottemo watashi ga tsuite
kaze to tomo ni ayumou

tsuyoku ikite
sora he tonde
hane wo hiroge ima sugu
sono kibou wo nigitte
yume wo kanaeyou
kasaneta yume wo

kimi ga kimi ga shika inai yo
kono namida wo tomete
kimi wo omou haha no kokoro
yuuki wo misete tachiagaru

tsuyoku ikite
sora he tonde
hane wo hiroge ima sugu
sono kibou wo nigitte
yume wo kanaeyou
kasaneta yume wo

tashikani kantan jyanai yo
kokoro mo kujikesou ni naru yo
soredemo yume wo mukau
kimi wa douka kiite
bokura no uta

tsuyoku ikite
sora he tonde
hane wo hiroge ima sugu
sono . . .

tsuyoku ikite
sora he tonde
hane wo hiroge ima sugu
sono kibou wo nigitte
yume wo kanaeyou
kasaneta yume wo

tsuyoku ikite
sora he tonde
hane wo hiroge ima sugu
sono kibou wo nigitte
yume wo kanaeyou
kasaneta yume wo

3 Slogan Utama Jepang Pasca Restorasi Meiji

   Fukoku Kyouhei (富国強兵) berarti kekayaan dan kekuatan dari suatu negara. Negara Jepang pada zaman Meiji berusaha membangun negara yang kaya dan militer yang kuat. Mereka percaya bahwa dengan membangun negara dan militer yang kuat, maka negara meraka ada dipandang oleh negara-negara lainnya. Selama zaman Meiji, negara jepang terus menerus membangun kekuatan militer guna menghadapi perang di kemudian waktu. Jepang juga terus mengumpulkan kekayaan untuk bisa menjadi negara yang mandiri

   Bunmei Kaika (文明開化) merupakan slogan pencerahan yang ada pada zaman Meiji. Negara Jepang berusaha merubah pola pikir mereka dari wakon kansai ke wakon yosai. Menurut mereka pada waktu tersebut, negara Barat merupakan negara-negara maju yang patut untuk dicontoh, sehingga apabila negara Jepang ingin maju seperti mereka, maka negara Jepang harus melakukan westernisasi. Dalam proses westernisasi tersebut, banyak sekali ilmu-ilmu yang diterima negara Jepang sehingga membuat negara Jepang itu menjadi negara yang maju di kemudian hari.

   Risshin Shusse (立身出世)  yang berarti berhasil dalam kehidupan. Negara Jepang harus bisa memenuhi kebutuhan negaranya sendiri. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi, maka negara Jepang tidak perlu lagi bergantung dan membutuhkan negara lain. Dengan hidup mandiri, negara Jepang tidak memerlukan negara lain, sehingga negara Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang maju. Negara Jepang percaya bahwa negara yang maju merupakan negara yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

Sekilas Tentang Miyamoto Musashi

   Miyamoto Musashi merupakan seorang anak dari desa Miyamoto yang memiliki nama asli yaitu Shimmen Takezo. Dalam perjalanan hidupnya Musashi bertemu dengan bebagai macam orang yang telah memberinya pelajaran hidup, sampai akhirnya ia menetap di Pulau Kyushu dan tidak pernah meninggalkan pulau tersebut hanya untuk mencari pemahaman. Ia kemudian mengajar dan melukis di Kui Kumanoto dan menulis go ichi no sho, yang dapat diterjemahkan sebagai buku lima cincin atau lima unsur.

   Cerita Miyamoto Musashi memiliki klasifikasi waktu pada zaman sengoku jidai sampai zaman Edo. Musashi turut serta dalam perang Sekigahara dan pada waktu itu merupakan salah satu samurai yang membela Toyotomi Hideyori yang kemudian kalah dalam peperangan Sekigahara. Kemudian ia juga bertarung melawak keluarga Yoshioka di Kyoto, Muso Gonosuke di Edo, Matsudaira di Izumo, dan Sasaki kojiro di Bunzen.

   Miyamoto Musashi merupakan seorang samurai terhebat dalam sejarah Jepang yang menujukan affiliansinya terhadap kendo, sehingga banyak konsep-konsep kendo yang awalnya berasal dari konsep-konsep bushi yakni zen.

   Zen merupakan ajaran yang menekankan bahwa ketenangan jiwa dan keyakinan hati adalah sumber kehidupan. Aspek kunci dari penyerapan dan penggunaan ajaran yang tepat dalam zen adalah dengan mengosongkan pikiran dari lain-lain, mengusahakan suatu pelepasan diri sepenuhnya, dan membuka pikiran lebar-lebar untuk memahami apapun situasi yang dihadapi secara utuh dan akurat. Unsur utama zen dalam bushido adalah bahwa seseorang tidak akan pernah menguasai sesuatu secara sempurna dan oleh karena itu, dia harus terus berusaha untuk bisa selalu menjadi lebih baik.

   Dalam sejarah jepang, Miyamoto Musashi telah mengalahkan lebih dari enam puluh orang samurai dalam satu pertarungan satu lawan satu, kemudian mengalahkan Sasaki Kojiro, sebelum dia pensiun, yang kemudian menulis buku dan melukis. Bagi samurai, pertempuran adalah sesuatu yang sakral. Oleh karena itu ada semacam peraturan tidak tertulis atau etiket yang terdapat dalam pertempuran samurai. Etiket tersebut adalah tidak boleh meyerang dari belakang, kemudian pertarungan harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri, lalu pertempuran juga harus dilakukan sampai tuntas, dan perang sebagai simbol spriritual dan komitmen. Seorang samurai juga menjunjung tinggi nilai keadilan, sehingga sangat tidak pantas seorang samurai jika dia ambil bagian dalam sebuah pertarungan jika tidak melihat ada keadilan dalam pertarungan yang akan ia hadapi.

   Dalam bukunya  go ichi no sho Musahi mengajarkan aturan-aturan yang harus dipahami untuk mempelajari seni bela dirinya, aturan-aturan tersebut adalah berfikir tanpa ketidakjujuran, tempa dirimu dalam jalan, sentuh semua seni, pahami jalan semua pekerjaan, pahami keuntungan dan kerugian segala hal, kembangkan mata yang tajam akan segala hal, pahami apa yang tidak dapat dilihat oleh mata, perhatikan bahkan hal-hal yang kecil, dan jangan libatkan diri dalam hal-hal yang tidak berguna.

   Buku go ichi no sho ini terdiri dari lima bab, yaitu bab bumi, bab air, bab api, bab angin, dan bab kekosongan.

Kebijakan Politik Sakoku Negara Jepang pada Zaman Edo

   Masuknya agama Kristen ke Jepang pada mulanya mendapat sambutan yang baik. Khususnya dari tiga orang daimyo (sebutan untuk tuan tanah di Jepang) di daerah barat daya Jepang. Ketiga orang tersebut adalah Otomo dari wilayah Kyusu, lalu Takayama Ukon dari wilayah Keiki, dan Omura dari wilayah Nagasaki. Menurut ketiga orang ini, setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi daya tarik agama Kristen dapat diterima di Jepang. Yang Pertama, dengan mengizinkan penyebaran agama Kristen, maka secara tidak langsung beberapa barang bahan peledak dan senjata pun dapat ikut masuk ke wilayah Jepang. Kedua, dengan memperbolehkan pendirian sekolah agama Kristen, maka berbagai perkembangan yang terjadi di barat secara tidak langsung dapat diketahui oleh Jepang. Dan yang terakhir adahal pendirian rumah sakit dan rumah yatim piatu sebagai misi agama Kristen di Jepang pada saat itu. Dengan adanya beberapa keuntungan tersebut, agama Kristen mulai berkembang di kalangan rakyat.

   Lalu kemudian pada tahun 1582, ketiga daimyo tersebut, mengirimkan empat orang pemuda ke Roma untuk menghadap Paus dan memperdalam pelajaran agama Kristen. Misi ini setidaknya mendapat sambutan yang hangat di Eropa. Dengan memakan waktu selama delapan tahun, mereka berempat pun kembali ke Jepang dan mengajarkan apa saja yang sudah mereka pelajari di Eropa. Tetapi yang paling berarti adalah mereka pada waktu itu berhasil mempelajari teknik mencetak.

   Pada periode sejarah Jepang berikutnya, di masa Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), agama Kristen mulai tertekan. Penyebabnya adalah karena banyak sekali daimyo di wilayah Kyusu yang menghadiahkan tanahnya kepada para misionaris agama Kristen untuk dijadikan pembangunan gereja. Dengan tidak adanya tanah, maka para petani pun tidak lagi bekerja sebagai petani. Mereka kemudian beralih profesi menjadi buruh. Ditambah lagi, Portugis yang pada saat itu berperan dalam penyebaran agama Kristen, ternyata malah melakukan perdagangan buruh. Tentu saja hal ini membuat Toyotomi Hideyoshi mengambil tindakan keras terhadap penyebaran agama Kristen. Akhirnya pada tahun 1587, Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan pertintah untuk melarang penyebaran Agama Kristen di Jepang. Para misionaris agama Kristen pun kemudian dilarang menyebarkan agama Kristen dam semua pengiriman misionaris ke negeri, khususnya ke barat, pun kemudian dilarang.

   Kemudian pada periode sejarah Jepang berikutnya, zaman Edo masa pemerintahan Tokugawa Ieasu, agama Kristen mendapatkan tekanan yang sama kerasnya seperti masa Toyotomi Hideyoshi. Di tahun 1612 Tokugawa Ieasu mengeluarkan perintah larangan yang sangat keras terhadap masuknya agama Kristen. Para pendeta diusir ke luar Jepang dan para pengikutnya dipaksa untuk meninggalkan agama Kristen dan menggantinya dengan agama Budha. Kemudian, banyak pula gereja-gereja yang ikut dihancurkan.

   Larangan agama tersebut kemudian lanjutkan dengan sebuah peraturan baru. Peraturan di mana warga Jepang dilarang pergi ke luar Jepang pada tahun 1635. Dengan begini warga Jepang benar-benar tidak bisa pergi meninggalkan Jepang, dan hanya bisa berada di dalam wilayah Jepang. Kebijakan lain kemudian dibuat lagi oleh pernerus keluarga Tokugawa, yaitu Tokugawa Iemitsu, dimana pemerintahan Jepang melakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan negara lain pada tahun 1639, mengingat salah satu slogan pelayaran bangsa barat selain perdagangan adalah penyebaran agama. Selama periode inilah mulai berlaku politik luar negeri sakoku, atau politik negara isolasi. Sakoku secara harfiah berarti negara tertutup. Sejak Tokugawa mengeluarkan perintah pada tahun 1939, maka semenjak itulah negara Jepang memberlakukan politik sakoku.

   Selama lebih dari dua ratus tahun Jepang memberlakukan isolasi negeri Jepang. Kebijakan ini terus dilakukan berturut-turut selama pemerintahan keluarga Tokugawa. Akibat adanya kebijakan isolasi ternyata memberikan dampak negative bagi warga Jepang yang berada di luar wilayah Jepang. Mereka tenyata tidak mendapatkan izin untuk kembali ke wilayah Jepang, sehingga mereka hanya bisa tinggal di luar wilayah Jepang. Di sisi lain, kebijakan isolasi juga memberikan dampak positif bagi Jepang. Selama berlakukanya politik isolasi, maka banyak pengaruh dari luar Jepang yang tidak bisa masuk ke dalam wilayah Jepang. Bagi Jepang ini adalah masa ketika kebudayaan asli Jepang dapat berkembang secara bebas, tidak lagi mendapat pengaruh dari luar. Memang pada masa dulu kebudayaan Jepang sangat mendapat pengaruh yang kuar dari Cina, tetapi semenjak berlakunya politik isolasi, banyak sekali muncul kebudayaan-kebudayaan baru yang benar-benar murni hasil keratifitas masyarakat Jepang.

   Di bidang agama, ajaran agama Budha dan Konfusianisme dikembangkan ke seluruh lapisan masyarakat Berbeda sekali dengan negara Cina yang hanya menerapkan ajaran Konfusianisme di kalangan bangsawan saja, Jepang benar-benar menerapkan ajaran ini ke dalam setiap lapisan masyarakat. Pada masa isolasi ini, ajaran Konfusianisme merupakan ajaran pokok yang harus dipelajari oleh setiap masyarakat Jepang.

   Selama masa isolasi, hubungan antara Jepang dengan negara-negara luar, khususnya barat, tidak putus begitu saja. Karena penyebab dari terjadinya masa isolasi adalah penyebaran agama Kristen, maka Jepang masih memberikan tenggang rasa terhadap negara-negara luar yang melakukan hubungan dangan dengan Jepang tanpa membawa-bawa penyebaran agama Kristen. Akhirnya satu-satunya bansa Eropa yang diizinkan berdagang dengan Jepang adalah Belanda. Kantor dangannya pun hanya diizinkan berada di wilayah pingiran, tepatnya di Pulau Dejima Perfektur Nagasaki.

   Melalui Pulau Dezima, ternyata pemerintahan Jepang juga memaksa kapal-kapal V.O.C. (perusahaan dagang milik Belanda) yang singgah di Pulau tersebut untuk memberikan informasi mengenai perkembangan yang terjadi. Kapal-kapal tersebut kebanyakan berlayar dari Eropa menuju Batavia (sekarang bernama Jakarta). Dengan memperoleh informasi dari situ, Jepang tidak akan tertinggal jika terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang berada di Eropa. Hal yang sama juga terjadi sebaliknya, ketika kapal V.O.C. tersebut berangkat dari Batavia ke Eropa, maka kapal tersebut biasanya terlebih dahulu singgah di Pulau Dezima. Kemudian ketika singgah di  Pulau tersebut, awak kapalnya wajib memberikan segala informasi yang ia ketahui, sehingga dengan cara ini pemerintahan Jepang tidak akan ketinggalan informasi baik dari Eropa maupun Asia Tenggara.

   Meskipun Belanda mendapatkan izin untuk memasuki wilayah Jepang, tetapi pemerintah Jepang melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap keberadaan Belanda. Bangsa Belanda tidak diizinkan sama sekali untuk keluar dari wilayah Dejima. Meskipun demikian, ada beberapa saat dimana Belanda dapat pergi ke wilayah Jepang lainnya, yaitu ketika pemerintah Jepang memberlakukan kebijakan dimana dalam satu tahun sekali Belanda harus melakukan kunjungan ke pusat pemerintahan Jepang tempat shogun (penguasa Jepang pada waktu tersebut) berada.

Bibliografi
Surajaya, I Ketut. 1996. Pengantar Sejarah Jepang. Depok: UI Press
Beasley, WG. 1999. The Japanese Experience, A Short History of Japan. London: The Orion Publishing Group Ltd

Budaya Populer dalam pandangan Yoshio Sugimoto

   Budaya populer itu bermacam-macam. Budaya popular merupakan cara orang merepresentasikan cara hidup orang-orang pada umumnya yang menikmati dan membagi-baginya terhadap lingkungan sosialnya (Sugimoto, 2003: 244). Budaya populer bisa beraneka ragam, mulai dari budaya daerah, hingga budaya kota, dari mulai budaya tradisional sampai budaya kontemporer. Yang terpenting agar budaya tersebut dikategorikan sebagai budaya populer adalah budaya tersebut diakui oleh orang-orang tertentu, budaya tersebut menjadi jalan hidup orang-orang tertentu, budaya tersebut dinikmati oleh orang orang tertentu, dan budaya tersebut disebarluaskan. Jadi budaya populer Jepang merupakan budaya yang berasal dari Jepang yang diakui, dinikmati, disebarluaskan, dan menjadi jalan hidup kebanyakan masyarakat Jepang pada umumnya. Budaya Jepang yang menjadi budaya populer Jepang ada banyak macamnya. Diantaranya adalah matsuri, manga, anime, karaoke, pachinko, agama baru Jepang, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, Sugimoto membagi budaya populer ke dalam tiga kategori:

1 Budaya Massa
   Kemajuan budaya massa pada era kontemporer ini sangat didukung keras dengan adanya media massa, sehingga tidak salah jika potensi budaya massa menjadi bergantung pada media massa. Hal ini disebabkan karena budaya massa merupakan konsumsi publik, sehingga apabila budaya tersebut sudah tidak dikonnsumsi publik lagi, maka budaya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai budaya massa. Karena sifat publik sebagai konsumen berkorelasi dengan media massa, maka budaya massa pun memiliki korelasi semu dengan prilaku konsumen publik. Faktor inilah yang menyebabkan budaya massa secara tidak langsung juga sangat bergantung pada konsumen, sehingga budaya massa tidak bisa bertahan tanpa adanya konsumerisme publik. Sugimoto menjelaskan bahwa hingga saat ini ada tujuh kategori yang termasuk ke dalam budaya massa yakni; budaya hiburan radio dan televise, media cetak popular, budaya tren dan fashion, budaya hiburan melalui teater, restoran, fasilitas rekreasi, dan industri prostitusi, budaya  teknologi, dan budaya elit tradisional yang dikomersialisasikan.
   Kesetiap bidang tersebut sebenarnya tumpang tindih satu sama lainnya dalam proses menjadi budaya populer Jepang. Yang satu bidang saling memperebutkan konsumen dengan bidang lainnya. Begitu juga dengan bidang lain yang juga saling memperebutkan konsumen. dalam prosesnya inilah yang dinamakan proses menjadi budaya massa. Kesetiap bidang tersebut saling memperebutkan perhatian konsumen dengan media massa yang ada seperti televisi, periklanan, percetakan, teknologi, komputer, internet, dan lain sebagainya. Di Jepang sendiri terdapat empat fenomena utama yang menjadi daya tarik konsumen dan sangat pupuler dalam proses publikasinya baik dalam media elektronik ataupun media cetak. Keempat fenomena tersebut adalah manga¸ pachinko, karaoke, dan industri prostitusi.

2 Budaya Rakyat
   Budaya rakyat merupakan jenis budaya populer yang lebih bersifat konvensional dalam kehidupan sehari-hari dari konsumennya. Diantaranya seperti festival lokal, musim liburan, dan seni tradisional. Budaya rakyat merupakan budaya yang sudah mengkar bisaanya berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Budaya populer jenis ini sebenarnya tidak memerlukan media massa sebagai alat pemasarannya. Budaya ini juga bahkan tidak mementingkan sikap prilaku konsumen seperti yang terjadi pada budaya massa. Budaya rakyat sebenarnya tedak membutuhkan konsumsi publik secara banyak. Budaya rakyat ada karena budaya ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang menkonsumsi budaya rakyat tersebut, sehingga budaya rakyat akan terus bertahan sebagai budaya populer tergantung pada kearifanlokalnya. Budaya rakyat suatu wilayah di Jepang bisa saja berbeda dengan budaya rakyat di wilayah Jepang lainnya. Budaya rakyat ini hidup dan berkembang di wilayah tersebut tergantung pada ingatan dan sejarah penduduk lokalnya.

3 Budaya Alternatif
   Budaya alternatif merupakan jenis budaya populer yang melawan status quo. Budaya ini merupakan bentuk tidak lansung dari ide yang mengkritik budaya sebelumnya karena dianggap tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga budaya ini dianggap sebagai counter culture. Budaya alternatif biasanya berasal dari wilayah pinggiran yang memiliki latar belakang berbeda dengan pusat lahirnya kebudayaan yang mendominasi. Karena perbedaan latar belang tersebut maka terjadi masalah kitika budaya yang dominan itu tidak bisa diaplikasikan di wilayah pinggiran tersebut. Ketidakpuasaan ini melahirkan gagasan untuk menentang budaya yang dominan. Munculnya budaya alternatif bukan hanya disebabkan karena latar belakang sosial akibat perbedaan wilayah. Perbedaan latar belakang juga bisa terjadi akibat berbedaan waktu yang cukup signifikan. Yang jelas, bagaimananpun perbedaan latar belakang sosialnya, budaya alternatif lahir disebabkan ketidakcocokan dan ketidakrekevanan budaya dominan sehingga budaya dominan tersebut tidak mungkin diaplikasikan.

Bibliografi
Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduce to Japanese Society. New York: Cambrige University Press