Biar Lambat Asal Selamat, Cepat-cepat Dapat Keramat



     Kelinci tiba-tiba terkejut. Ia melihat kura-kura sudah berada di dekat garis finish. Ia heran dan bingung melihat kura-kura tersebut. Pikirannya terfokus kepada kura-kura yang ada di depannya. Ia harus bisa melewati kura-kura tersebut, kemudian melalui garis finish sebagai juara pertama. Dengan sekuat tenaga ia berlari mengejar kura-kura tersebut. Berlari dengan kecepatan penuh. Setiap langkah kaki yang diambil adalah langkah yang jauh. Setiap kali kakinya harus bertumpu, ia keluarkan sekuat tenaga. Supaya bisa berlari lebih cepat lagi, ia condongkan badanya ke depan. Ia terus berlari mengejar kura-kura. Kenapa hal ini bisa terjadi, pikirnya. Ia yakin betul bahwa kura-kura itu masih tertinggal jauh di belakang. Ia bertanya-tanya dalam hati. Sejak kapan kura-kura melewatinya? Ia merasa tidak pernah bertemu dengan kura-kura itu di jalan. Bagaimana cara kura-kura itu melewatinya? Tetapi semua pertanyaan itu tidak bisa ia jawab. Ia mengingat-ingat lagi apa yang ia lakukan selama pertandingan berlangsung.
     Ia teringat bahwa beberapa saat seletah ia melewati garis start, ia langsung meninggalkan kura-kura. Ia berlari dengan cepat. Berlari dengan kecepatan penuh dan meninggalkan kura-kura. Tanpa harus menunggu kura-kura, ia berlari terus-menerus. Kakinya menapak ke tanah dengan kencang. Digunakannya kaki tersebut sebagai tumpuan untuk berlari. Kaki itu didorong ke belakang. Ia pun melaju dengan cepat. Debu tanah yang dihasilkan kakinya itu berhembus ke mana-mana. Kura-kura saja sampai batuk karena debu tersebut. Ia tetawa terbahak-bahak melihat pemandangan tersebut. Bagaimana bisa jadi juara lari, kalau terkena debu saja sudah batuk seperti itu, pikirnya. Sudah pasti ia yang akan menjadi juara dalam lomba lari ini, tidak munkin kura-kura itu mampu menandingi kecepatan seekor kelinci. Kecepatan kura-kura itu tidak sebanding dengan kecepatan kelinci. Ia bermaksud berlari sampai ke garis finish dan mentertawakan sekeras-kerasnya melihat kondisi kura-kura tersebut yang sudah kalah dalam perlombaan lari.
     Setelah berlari cukup jauh. Tenaganya sudah mulai berkurang. Fisiknya sudah tidak mendukung lagi untuk mengeluarkan kecepatan maksimalnya. Kecepatannya pun berkurang. Ia tahu bahwa finish sudah tidak jauh lagi dari tempat ia berada sekarang ini. Ia memutuskan untuk beristirahat dulu sejenak. Setelah istirahat, tenaganya pasti pulih kembali, pikirnya. Ia melihat di sebelah kirinya ada pohon apel yang sudah berbuah. Pohon itu berdiri tegap seperti tiang bendera. Daunnya berwarna hijau terang. Akarnya kokoh menjalar ke bawah tanah. Di antara kehijauan daunnya, ada warna merah bulat yang menunjukan pohon itu memiliki buah apel yang sudah matang. Karena buah itu sangat menarik perhatiannya, ia dekati pohon itu untuk mengambil buah apel tersebut. Banyak sekali buah apel yang ia makan.
     Perutnnya kini kekenyangan. Ia pun mengantuk. Tertidurlah ia di bawah pohon yang rindang itu. Karena tidurnya sangant nyenyak, ia pun sampai bermimpi. Imajinasi yang ada dalam mimpi itu mengingatkan ia terhadap kejadian kemarin. Seekor kura-kura dengan beraninya menantang seeokor kelinci, yang bisa berlari dengan cepat, untuk mengadu kecepatan. Pada awalnya mereka berdua hanya sedang berdiskusi biasa saja. Tetapi ketika membahas tentang kecepatan, tiba-tiba saja emosinya jadi meningkat. Bagaimana tidak, kalau ada seekor kura-kura berbicara lancang bahwa ia dapat berlari lebih cepat dari seekor kelinci. Dipikirkan secara logika saja sudah pasti mustahil. Tetapi kura-kura itu keras kepala sekali. Ia sampai berani menantang adu lari dengan seekor kelinci. Yang benar saja, kelinci sudah pasti keluar jadi pemenangnya. Tidak apa-apa kalau ia terima tantangan kura-kura tersebut, pikirnya. Kura-kura itu harus tahu betapa cepat larinya seekor kelinci. Supaya lain kali ia tidak bebicara seenaknya saja.  Akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
     Pikirannya sudah kacau. Kegigihan dan kerja-kerasnya selama perlombaan akan lenyap jika kura-kura itu menjadi pemenangnya. Kura-kura itu hanya di depan matanya saja. Ia saja belum melewati garis finish. Ia sadar kesalahan yang ia lakukan, membuatnya menjadi tertekan seperti sekarang ini. Yang ia tahu sekarang ini, ia harus mengeluarkan semua kekuatan berlarinya, supaya bisa melewati kelinci tersebut.
     Pertandingan sudah berkhir. Kelinci itu kemudian pulang dengan perasaan kecewa. Ia tidak mampu lagi menatap kura-kura. Ia sudah terlalu malu karena kalah. Tidak punya muka lagi untuk berbincang-bincang dengan kura-kura. Ia sadar, ia telah meremahkan kemampuan kura-kura tersebut. Ia terlalu besar kepala. Kesombongan telah membuat pikirannya kacau. Ia terlalu yakin bisa memenangkan perlombaan ini, padahal kesombongan itu yang sudah membuatnya kalah sebelum pertandingan dimulai.

Norito, Mantera Agama Shinto

Norito memang sudah ada sebalum Zaman Nara, tetapi norito yang termasuk ke dalam kesusastraan ada pada Zaman Nara. Norito ini termasuk kedalam Jodai Bungaku. Semua norito tercatat di dalam 27 pasal dalam buku Engishiki jilid 8 dan Nakatomi no Yogoto yang merupakan bagian dari Taiki.

Pada awalnya Norito merupakan mantera-mentera sederhana yang dipergunakan ajaran agama shinto untuk memuja dewa mereka yang berasal dari nenek moyang Keluarga Tenno. Dewa yang dipuja bisa saja banyak dan tidak mengacu kepada satu dewa saja. Pengertian norito pada waktu itu hampir mirip dengan berdoa kepada kepercayaan agama shinto. Orang-orang mengucapkan norito agar bisa menyengkan perasaan dewa, sehingga bila sudah begitu maka dewa akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan.

Isi dari norito bisa saja ditujukan untuk menerangkan asal usul terjadinya suatu festival dan hubungannya dengan dewa. Norito ini bisa juga dipergunakan untuk mengobati penyakit. Orang-orang percaya bahwa datangnya penyakit adalah karena alam tempat dewa tinggal tidak nyaman, sehingga dewa menurunkan penyakit sebagai balasannya. Norito ini jelas ditujukan kepada dewa untuk memohon kesehatan jiwa dan raga.

Norito juga terus berkembang sehingga yang dari awalnya hanya mantera-mantera senderhana, kemudian bertambah panjang karena mendapat tambahan doa-doa pembuka dan penutup.

Norito tidak menggunakan gaya bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang dipergunakan orang sehari-hari untuk berkomunikasi. Gaya bahasa yang digunakan dalam norito harus mengandung usur keindahan bahasa. Orang-orang percaya bahwa dengan menggunakan bahasa yang indah akan mendatangkan keadaan yang baik pula, sebaliknya bila menggunakan bahasa yang buruk, maka akan mendatangkan malapetaka. Gaya bahasa yang dipergunakan dalam norito antara lain adalah penggunaan antitese, pengulangan, perumpamaan, dan lain sebagainnya. Keindahan bahasa yang digunakan memang sengaja ditujukan kepada dewa supaya dewa merasa senang hati dan memberikan kebaikan kepada manusia.


Bibliografi
Asoo, Isoji, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang, terj. Nihon Bungakushi. Jakarta: UI Press.
Mandah, Darsimah, dkk. 1992. Pengantar Kesusastraan Jepang. Jakarta: Gransindo.